Kenapa Harus Moratorium?
7:59 PMKenapa Harus Moratorium?
Deforestasi dan Bencana Alam
Bencana ekologis tahunan seperti kabut asap, banjir dan kekeringan telah memberikan dampak negative yang cukup besar bagi negeri ini. Hal ini merupakan sebuah indicator termudah untuk melihat bahwa tingkat kerusakan lingkungan hidup di Riau sudah sampai pada tahap mengkhawatirkan.
Proses Deforestasi dan degradasi hutan alam di Propinsi Riau berlangsung sangat cepat. Selama kurun waktu 24 tahun (1982-2005) Propinsi Riau sudah kehilangan tutupan hutan alam seluas 3,7 Juta hectare. Pada tahun 1982 tutupan hutan alam di Provinsi Riau masih meliputi 78% (6.415.655 hektar) dari luas daratan Propinsi Riau 8.225.199 Ha (8.265.556,15 hektar setelah dimekarkan). Hingga tahun 2005 hutan alam yang tersisa hanya 2,743,198 ha (33% dari luasan daratan Riau). Dalam Kurun waktu tersebut provinsi Riau rata-rata setiap tahun kehilangan hutan alam-nya seluas 160.000 Hectare/tahun dan selama periode 2004 - 2005 hutan alam yang hilang mencapai 200 ribu [1]
Investasi Yang Menghancurkan
Jumlah industri legal yang tercatat pada tahun 2005 di Dinas kehutanan Propinsi Riau sebanyak 576 Unit dengan kebutuhan bahan baku menjadi 22,7 juta M3/tahun[2]. Sedangkan kemampuan produksi hutan pada tahun 2000 hanya sekitar 1,1 juta m3/tahun[3] dan terus berkurang setiap tahun. Industri ini terdiri dari industri sawn Timber (Saw mill) mencapai 559 unit, moulding 27 unit, Industri kayu lapis (plywood) 9 unit, chip mill sebanyak 2 unit. Disamping itu dari berbagai study yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ditemukan ratusan sawmill illegal yang belum dihitung kapasitas Produksinya.
Tidak seimbangnya kapasitas industri terpasang dengan kemampuan suply bahan baku mengakibatkan terjadinya eksploitasi berlebihan sumberdaya hutan yang melebihi kapasitas daya dukung lingkungan. Dampak yang muncul akibat terganggunya daya dukung lingkungan ini adalah bencana ekologis setiap tahun dialami oleh masyarakat berupa banjir dan bencana asap.
Akibat lain yang muncul karena paradigma investasi berbasis lahan untuk memenuhi kebutuhan industri ini adalah tingginya konflik tenurial antara masyarakat lokal dengan pemilik izin pemanfaatan ruang baik itu perkebunan maupun HTI. Dalam banyak kasus masyarakat selalu berada pada pihak yang dirugikan ketika terjadi konflik dengan pihak perusahaan. Dengan kata lain Rakyat yang seharusnya sebagai pemilik kedaulatan wilayah dan menjadi subjek pembangunan justru harus tersingkirkan dengan mengatas namakan investasi. Jika kedaulatan rakyat terhadap sumberdaya alam ini tidak segera dipulihkan maka Visi Riau 2020 Sebagai Pusat Budaya Melayu di Asia Tenggara justru akan berubah menjadi Pusat Buruh Melayu di Asia Tenggara.
Riau yang Rawan Bencana
Hampir setiap tahun Pemerintah provinsi Riau disibukan mengurusi korban bencana banjir dan asap, persoalan ini lebih disebabkan karakteristik bentangan alam provinsi Riau yang terdiri dari kawasan mineral dan kawasan bergambut. Sekitar 4 juta ha ( 46%) daratan Riau merupakan kawasan bergambut yang sangat labil bila ekosistimnya di rusak. Selama puluhan tahun eksploitasi dan konversi hutan alam rawa gambut di Riau dilakjukan tanpa melalui pertimbangan yang benar dan baik sehingga bencana asap, banjir dan kekeringan terus berulang di Riau setiap tahunnya. Hal ini telah berakibat pada menurunya kualitas udara yang selanjutnya berdapak pada kesehatan dan kehidupan masyarakat Riau. Selama tahun tahun 2005 penderita penyakita Infeksi Salauran Pernafasan Akut ( ISPA) pada anak Balita di provinsi Riau mencapai 7.608 jiwa. Hal lain yang sangat menghawatirkan dari dampak ekosistim hutan rawa gambut adalah terjadinya penurunan permukaan gambut (subsidensi) yang telah dan akan menimbulkan masuknya air laut jauh kedaratan ( Intrusi), hal ini telah dan akan terus mengancam masyarakat yang bermukim pada kawasan bergambut. Untuk itu sangat dibutuhkan Tindakan dan kebijakan Pemerintah yang bersifat kehati-hatian dini (early precaution policy action) dalam pengelolaan kawasan gambut.
Momentum Perubahan
Deforestasi dan bencana alam terjadi karena tidak tegaknya regulasi dalam penataan ruang, baik itu pada tahapan perencanaan, implementasi maupun penertiban. Dari analisis Kabut Riau 2008 terdapat 2.295.300 ha perizinan yang perlu ditertibkan/ dicabut izin pemanfaatan ruangnya karena tidak sesuai dengan Kriteria lahan yang ditetapkan dalam PP no 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Perizinan yang perlu ditertibkan diantaranya seluas 1.570.700 ha Izin Hutan Tanaman Industri (HTI) dan seluas 724.600 ha Izin Perkebunan. [4]
Bencana ekologis yang muncul serta tingginya konflik kepemilikan lahan merupakan kegagalan dalam “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum”[5] sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke 4 adalah merupakan kegagalan bersama dalam membangun sebuah bangsa di setiap level pemerintahan. Penyebab utama dari kegagalan ini adalah tidak tegaknya regulasi dalam penengelolaan sumberdaya alam yang diamanatkan oleh pasal 33 ayat 3 UUD 1945
Keluarnya UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang merupakan mandat dan penjabaran dari Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 merupakan momentum positif dalam reformasi regulasi dalam pengelolaan sumberdaya alam serta menjawab kegagalan dari tujuan pembangunan nasional. Momentum perubahan ini harus dimanfaatkan dengan baik oleh seluruh elemen negara (penyelenggara negara dan rakyat) jika tujuan pembangunan nasional menuju masyarakat adil dan makmur ingin kita capai dimasa yang akan datang.
Moratorium
Berdasarkan kondisi kritis diatas sudah saat-nya dilakukan penataan kembali secara menyeluruh hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan hutan di Provinsi Riau, baik itu penataan kebijakan, perijinan, penyelesaian konflik pertanahan, pencegahan bencana lingkungan ( Kebakaran hutan, banjir dan kekeringan), pengentasan kemiskinan, peningkatan kualitas hidup masyarakat, pendidikan dan sebagainya. Dengan segala persoaalan kehutanan yang terjadi saat ini di Riau penataan kembali akan sangat sulit untuk diimplementasikan apa bila segala aktivitas konversi atau eksploitasi hutan masih terus berlangsung. Penyelesaian dari persoalan diatas hanya bisa dilakukan dengan jalan melakukan MORATORIUM.
Tujuan Moratorium
1. Memberlakukan kebijakan dan melakukan tindakan kehati-hatian dini guna menjamin kepastian hukum bagi terpenuhinya hak-hak rakyat terhadap keselamatan, produktifitas dan jasa alam secara berkelanjutan;
2. Memberlakukan kebijakan dan melakukan tindakan pembenahan guna menjamin kepastian hukum bagi berlangsungnya kegiatan pembangunan yang tepat dan optimal di Provinsi Riau tanpa mengorbankan keselamatan dan produktifitas rakyat serta keberlanjutan jasa alam.
[1] Jikalahari 2005
[2] Makalah Gubernur Propinsi Riau 2006
[3] Kanwil kehutanan propinsi Riau 2000
[4] Data Dan Fakta Pola Pemanfaatan Ruang Provinsi Riau oleh Kabut Riau 2008
[5] Alinea ke 4 pembukaan UUD 1945
Deforestasi dan Bencana Alam
Bencana ekologis tahunan seperti kabut asap, banjir dan kekeringan telah memberikan dampak negative yang cukup besar bagi negeri ini. Hal ini merupakan sebuah indicator termudah untuk melihat bahwa tingkat kerusakan lingkungan hidup di Riau sudah sampai pada tahap mengkhawatirkan.
Proses Deforestasi dan degradasi hutan alam di Propinsi Riau berlangsung sangat cepat. Selama kurun waktu 24 tahun (1982-2005) Propinsi Riau sudah kehilangan tutupan hutan alam seluas 3,7 Juta hectare. Pada tahun 1982 tutupan hutan alam di Provinsi Riau masih meliputi 78% (6.415.655 hektar) dari luas daratan Propinsi Riau 8.225.199 Ha (8.265.556,15 hektar setelah dimekarkan). Hingga tahun 2005 hutan alam yang tersisa hanya 2,743,198 ha (33% dari luasan daratan Riau). Dalam Kurun waktu tersebut provinsi Riau rata-rata setiap tahun kehilangan hutan alam-nya seluas 160.000 Hectare/tahun dan selama periode 2004 - 2005 hutan alam yang hilang mencapai 200 ribu [1]
Investasi Yang Menghancurkan
Jumlah industri legal yang tercatat pada tahun 2005 di Dinas kehutanan Propinsi Riau sebanyak 576 Unit dengan kebutuhan bahan baku menjadi 22,7 juta M3/tahun[2]. Sedangkan kemampuan produksi hutan pada tahun 2000 hanya sekitar 1,1 juta m3/tahun[3] dan terus berkurang setiap tahun. Industri ini terdiri dari industri sawn Timber (Saw mill) mencapai 559 unit, moulding 27 unit, Industri kayu lapis (plywood) 9 unit, chip mill sebanyak 2 unit. Disamping itu dari berbagai study yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ditemukan ratusan sawmill illegal yang belum dihitung kapasitas Produksinya.
Tidak seimbangnya kapasitas industri terpasang dengan kemampuan suply bahan baku mengakibatkan terjadinya eksploitasi berlebihan sumberdaya hutan yang melebihi kapasitas daya dukung lingkungan. Dampak yang muncul akibat terganggunya daya dukung lingkungan ini adalah bencana ekologis setiap tahun dialami oleh masyarakat berupa banjir dan bencana asap.
Akibat lain yang muncul karena paradigma investasi berbasis lahan untuk memenuhi kebutuhan industri ini adalah tingginya konflik tenurial antara masyarakat lokal dengan pemilik izin pemanfaatan ruang baik itu perkebunan maupun HTI. Dalam banyak kasus masyarakat selalu berada pada pihak yang dirugikan ketika terjadi konflik dengan pihak perusahaan. Dengan kata lain Rakyat yang seharusnya sebagai pemilik kedaulatan wilayah dan menjadi subjek pembangunan justru harus tersingkirkan dengan mengatas namakan investasi. Jika kedaulatan rakyat terhadap sumberdaya alam ini tidak segera dipulihkan maka Visi Riau 2020 Sebagai Pusat Budaya Melayu di Asia Tenggara justru akan berubah menjadi Pusat Buruh Melayu di Asia Tenggara.
Riau yang Rawan Bencana
Hampir setiap tahun Pemerintah provinsi Riau disibukan mengurusi korban bencana banjir dan asap, persoalan ini lebih disebabkan karakteristik bentangan alam provinsi Riau yang terdiri dari kawasan mineral dan kawasan bergambut. Sekitar 4 juta ha ( 46%) daratan Riau merupakan kawasan bergambut yang sangat labil bila ekosistimnya di rusak. Selama puluhan tahun eksploitasi dan konversi hutan alam rawa gambut di Riau dilakjukan tanpa melalui pertimbangan yang benar dan baik sehingga bencana asap, banjir dan kekeringan terus berulang di Riau setiap tahunnya. Hal ini telah berakibat pada menurunya kualitas udara yang selanjutnya berdapak pada kesehatan dan kehidupan masyarakat Riau. Selama tahun tahun 2005 penderita penyakita Infeksi Salauran Pernafasan Akut ( ISPA) pada anak Balita di provinsi Riau mencapai 7.608 jiwa. Hal lain yang sangat menghawatirkan dari dampak ekosistim hutan rawa gambut adalah terjadinya penurunan permukaan gambut (subsidensi) yang telah dan akan menimbulkan masuknya air laut jauh kedaratan ( Intrusi), hal ini telah dan akan terus mengancam masyarakat yang bermukim pada kawasan bergambut. Untuk itu sangat dibutuhkan Tindakan dan kebijakan Pemerintah yang bersifat kehati-hatian dini (early precaution policy action) dalam pengelolaan kawasan gambut.
Momentum Perubahan
Deforestasi dan bencana alam terjadi karena tidak tegaknya regulasi dalam penataan ruang, baik itu pada tahapan perencanaan, implementasi maupun penertiban. Dari analisis Kabut Riau 2008 terdapat 2.295.300 ha perizinan yang perlu ditertibkan/ dicabut izin pemanfaatan ruangnya karena tidak sesuai dengan Kriteria lahan yang ditetapkan dalam PP no 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Perizinan yang perlu ditertibkan diantaranya seluas 1.570.700 ha Izin Hutan Tanaman Industri (HTI) dan seluas 724.600 ha Izin Perkebunan. [4]
Bencana ekologis yang muncul serta tingginya konflik kepemilikan lahan merupakan kegagalan dalam “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum”[5] sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke 4 adalah merupakan kegagalan bersama dalam membangun sebuah bangsa di setiap level pemerintahan. Penyebab utama dari kegagalan ini adalah tidak tegaknya regulasi dalam penengelolaan sumberdaya alam yang diamanatkan oleh pasal 33 ayat 3 UUD 1945
Keluarnya UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang merupakan mandat dan penjabaran dari Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 merupakan momentum positif dalam reformasi regulasi dalam pengelolaan sumberdaya alam serta menjawab kegagalan dari tujuan pembangunan nasional. Momentum perubahan ini harus dimanfaatkan dengan baik oleh seluruh elemen negara (penyelenggara negara dan rakyat) jika tujuan pembangunan nasional menuju masyarakat adil dan makmur ingin kita capai dimasa yang akan datang.
Moratorium
Berdasarkan kondisi kritis diatas sudah saat-nya dilakukan penataan kembali secara menyeluruh hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan hutan di Provinsi Riau, baik itu penataan kebijakan, perijinan, penyelesaian konflik pertanahan, pencegahan bencana lingkungan ( Kebakaran hutan, banjir dan kekeringan), pengentasan kemiskinan, peningkatan kualitas hidup masyarakat, pendidikan dan sebagainya. Dengan segala persoaalan kehutanan yang terjadi saat ini di Riau penataan kembali akan sangat sulit untuk diimplementasikan apa bila segala aktivitas konversi atau eksploitasi hutan masih terus berlangsung. Penyelesaian dari persoalan diatas hanya bisa dilakukan dengan jalan melakukan MORATORIUM.
Tujuan Moratorium
1. Memberlakukan kebijakan dan melakukan tindakan kehati-hatian dini guna menjamin kepastian hukum bagi terpenuhinya hak-hak rakyat terhadap keselamatan, produktifitas dan jasa alam secara berkelanjutan;
2. Memberlakukan kebijakan dan melakukan tindakan pembenahan guna menjamin kepastian hukum bagi berlangsungnya kegiatan pembangunan yang tepat dan optimal di Provinsi Riau tanpa mengorbankan keselamatan dan produktifitas rakyat serta keberlanjutan jasa alam.
[1] Jikalahari 2005
[2] Makalah Gubernur Propinsi Riau 2006
[3] Kanwil kehutanan propinsi Riau 2000
[4] Data Dan Fakta Pola Pemanfaatan Ruang Provinsi Riau oleh Kabut Riau 2008
[5] Alinea ke 4 pembukaan UUD 1945