Orasi Politik
Gerakan Rakyat Riau Menggugat
Rabu, 16 Juli 2008
Banyak sumber-sumber kehidupan rakyat yang telah dirampas oleh pemerintah dan oleh pengusaha yang mengakibatkan semakin terpuruknya kehidupan rakyat. Begitu banyak kasus-kasus di Indonesia yang berawal dari diambilnya wilayah kelola rakyat untuk kepentingan pengusaha dan pemerintah tanpa perbaikan atas kondisi rakyat yang telah dirampas wilayah kelolanya.
“Rakyat selalu dihadapkan kepada aparat negara ketika harus mempertahankan lahan yang selama ini menjadi sumber kehidupan mereka dari pengambilan paksa oleh pengusaha. Pemerintah Indonesia cenderung lebih mendahulukan kepentingan pemodal dibandingkan kesejahteraan rakyat. Padahal hingga saat ini tidak banyak yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia,“
Pemerintah Indonesia hingga saat ini hanya melindungi kaum pemodal, sedangkan rakyat selalu menjadi korban atas kepentingan sesaat pemerintah. Harusnya pemerintah berkewajiban untuk melindungi hak-hak rakyat serta memberikan kedaulatan rakyat atas sumber-sumber kehidupan mereka
Menegakkan Kedaulatan Rakyat Terhadap Sumberdaya Alam
Realitas ekonomi-politik Indonesia tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarahnya yang panjang. Jatuh-bangunnya negeri ini mulai dari masa kolonial kuno, kolonial modern hingga era globalisasi-neoliberal adalah hal mendasar yang harus dicamkan oleh bangsa ini. Kita tidak boleh lupa, bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah kelam penjajahan dan kita terus ditindas dari satu penjajahan ke penjajahan berikutnya, dari kolonial Portugis, Inggris, Belanda hingga penjajahan Jepang. Masih belum terwujudnya keadilan sosial di negeri ini adalah salah satu ciri penjajahan gaya baru yang telah disebutkan oleh Soekarno sebagai nekolim: neokolonialisme-imperialisme.
Dari fakta-fakta tersebut, rakyat Indonesia nyata-nyata tak memiliki kedaulatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara, kedaulatan rakyat tersebut dalam catatan sejarah justru adalah yang paling lebih dahulu diberangus oleh kaum kolonial. Rakyat Indonesia terus diperas darah dan keringatnya dalam rangka memakmurkan kaum penjajah. Bahkan sewaktu sudah secara de facto dan de jure merdeka, situasi ekonomi-politik masih terus karut-marut hingga dewasa ini
Menurut Soekarno, era penjajahan ini secara umum diwakili dengan 3 (tiga) karakteristik yakni:
(i) Diposisikannya perekonomian Indonesia sebagai pemasok bahan mentah bagi industri-industri di negara maju;
(ii) Dijadikannya perekonomian Indonesia sebagai pasar produk yang dihasilkan oleh industri-industri di negara maju; dan
(iii) Dijadikannya perekonomian Indonesia sebagai tempat untuk memutar kelebihan kapital yang terdapat di negara-negara maju.
Sepanjang sejarah, masa yang tercatat benar-benar memperhatikan kedaulatan rakyat adalah pada masa pasca proklamasi kemerdekaan hingga tahun 1965. Hal ini jelas karena cara pandang pendiri bangsa kita terhadap ekonomi-politik memang sangat berbeda. Dengan karakteristik kolonial, jelas yang dikedepankan adalah kepentingan segelintir pemilik modal dan penguasa belaka. Sedangkan untuk Indonesia yang mengalami pahit-getirnya dijajah, tentunya perspektif ekonomi-politiknya haruslah merupakan koreksi total terhadap ciri-ciri kolonial tersebut (Revrisond Baswir, 2007).
“Rakyat selalu dihadapkan kepada aparat negara ketika harus mempertahankan lahan yang selama ini menjadi sumber kehidupan mereka dari pengambilan paksa oleh pengusaha. Pemerintah Indonesia cenderung lebih mendahulukan kepentingan pemodal dibandingkan kesejahteraan rakyat. Padahal hingga saat ini tidak banyak yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia,“
Pemerintah Indonesia hingga saat ini hanya melindungi kaum pemodal, sedangkan rakyat selalu menjadi korban atas kepentingan sesaat pemerintah. Harusnya pemerintah berkewajiban untuk melindungi hak-hak rakyat serta memberikan kedaulatan rakyat atas sumber-sumber kehidupan mereka
Menegakkan Kedaulatan Rakyat Terhadap Sumberdaya Alam
Realitas ekonomi-politik Indonesia tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarahnya yang panjang. Jatuh-bangunnya negeri ini mulai dari masa kolonial kuno, kolonial modern hingga era globalisasi-neoliberal adalah hal mendasar yang harus dicamkan oleh bangsa ini. Kita tidak boleh lupa, bahwa sejarah Indonesia adalah sejarah kelam penjajahan dan kita terus ditindas dari satu penjajahan ke penjajahan berikutnya, dari kolonial Portugis, Inggris, Belanda hingga penjajahan Jepang. Masih belum terwujudnya keadilan sosial di negeri ini adalah salah satu ciri penjajahan gaya baru yang telah disebutkan oleh Soekarno sebagai nekolim: neokolonialisme-imperialisme.
Dari fakta-fakta tersebut, rakyat Indonesia nyata-nyata tak memiliki kedaulatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sementara, kedaulatan rakyat tersebut dalam catatan sejarah justru adalah yang paling lebih dahulu diberangus oleh kaum kolonial. Rakyat Indonesia terus diperas darah dan keringatnya dalam rangka memakmurkan kaum penjajah. Bahkan sewaktu sudah secara de facto dan de jure merdeka, situasi ekonomi-politik masih terus karut-marut hingga dewasa ini
Menurut Soekarno, era penjajahan ini secara umum diwakili dengan 3 (tiga) karakteristik yakni:
(i) Diposisikannya perekonomian Indonesia sebagai pemasok bahan mentah bagi industri-industri di negara maju;
(ii) Dijadikannya perekonomian Indonesia sebagai pasar produk yang dihasilkan oleh industri-industri di negara maju; dan
(iii) Dijadikannya perekonomian Indonesia sebagai tempat untuk memutar kelebihan kapital yang terdapat di negara-negara maju.
Sepanjang sejarah, masa yang tercatat benar-benar memperhatikan kedaulatan rakyat adalah pada masa pasca proklamasi kemerdekaan hingga tahun 1965. Hal ini jelas karena cara pandang pendiri bangsa kita terhadap ekonomi-politik memang sangat berbeda. Dengan karakteristik kolonial, jelas yang dikedepankan adalah kepentingan segelintir pemilik modal dan penguasa belaka. Sedangkan untuk Indonesia yang mengalami pahit-getirnya dijajah, tentunya perspektif ekonomi-politiknya haruslah merupakan koreksi total terhadap ciri-ciri kolonial tersebut (Revrisond Baswir, 2007).
Karena itulah pada era 1945 hingga 1965 terjadi proses pembangunan yang berusaha mendekonstruksi kebijakan-kebijakan ekonomi-politik pada era kolonial. Dalam sektor agraria, dibuatlah sebuah UU Pokok Agraria yang menjadi payung hukum di tingkat nasional. UU itulah yang dikenal sebagai basis legal kaum tani untuk menegakkan hak-haknya atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Di dalam UU ini pula terjadi penegakan prinsip ‘tanah untuk penggarap’ (land to the tiller) yang sudah lama diperjuangkan kaum tani di seantero nusantara. Di bidang yang lebih umum lagi, pemerintahan Soekarno-Hatta pada saat itu merancang Pembangunan Semesta yang diharapkan bisa merestrukturisasi ulang kekayaan sehingga terjadi pemerataan dan keadilan sosial yang diimpi-impikan rakyat.
Manutnya Indonesia sebagai anak patuh (good boy) rezim Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, juga menghasilkan rekomendasi-rekomendasi kebijakan dan praktek neoliberal di negeri ini. Kebijakan inilah yang terus mereproduksi penjajahan dalam bentuk baru, dengan dasar Konsensus Washington: privatisasi-deregulasi-liberalisasi pasar. Kebijakan-kebijakan ini adalah buah persekongkolan (korupsi, kolusi dan nepotisme) rejim pemerintah Indonesia, bekerja sama dengan pihak pengusaha besar dan kroni-kroninya. Dengan praktek yang menihilkan keterlibatan rakyat, jelas pada akhirnya dampak yang dihasilkan sangat menghancurkan. Utang negara pun menumpuk, sementara negeri ini di ujung krisis.
Salah kaprah dalam memandang ekonomi-politik di Indonesia memang terus berlarut-larut hingga saat ini. Baik pemerintah, ekonom, maupun pengambil keputusan saat ini tidak bisa menelaah perbedaan antara ekonomi terjajah dan kemerdekaan ekonomi. Akibatnya—seperti yang selama ini terjadi—perekonomian hanya dianggap sebagai data-data statistik belaka layaknya pertumbuhan ekonomi, Produk Domestik Bruto (PDB), nilai kurs, dan sebagainya. Dalam sistem politik sendiri, hal inilah yang disebutkan oleh Sritua Arief (1997) yang menghasilkan distorsi. Dan oleh karena itu pula, muncul persekongkolan antara pemerintah dan pemodal besar serta pihak-pihak perantara yang mengambil surplus ekonomi dari ekonomi rakyat. Selanjutnya hal tersebut didukung pula oleh kaum pemikir ekonomi kanan baru yang ingin meminimalkan peran pemerintah dalam kehidupan sosial-ekonomi. Dalam bahasa yang lebih lugas, ekonom fundamentalis pasar inilah yang disebut sebagai Mafia Berkeley.
Selanjutnya yang terjadi adalah pengkhianatan terhadap mandat kemerdekaan Indonesia. Mandat tersebut, seperti yang tercantum dalam konstitusi negara kita UUD 1945 naskah asli, adalah:
“…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”.
Dalam pelaksanaannya, ekonom-ekonom penjajah inilah yang menjerumuskan negara dengan praktek yang disebut corporatocracy (John Perkins, 2004). Praktek inilah yang lebih mengutamakan kepentingan imperium kapital global daripada mengoreksi struktur ekonomi kolonial. Indonesia masih sangat menghamba pada investor asing untuk membangun negerinya, masih tetap menjual kekayaan alamnya terutama tanah, hutan, minyak, gas dan bahan tambang ke perusahaan-perusahaan transnasional asing, serta terus kebanjiran barang impor hasil pertanian, industri dan jasa dari luar negeri.Orientasi politik yang muncul adalah orientasi terhadap kekuasaan, sebaliknya bukan pada orientasi kerakyatan dan kebangsaan.
“…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”.
Dalam pelaksanaannya, ekonom-ekonom penjajah inilah yang menjerumuskan negara dengan praktek yang disebut corporatocracy (John Perkins, 2004). Praktek inilah yang lebih mengutamakan kepentingan imperium kapital global daripada mengoreksi struktur ekonomi kolonial. Indonesia masih sangat menghamba pada investor asing untuk membangun negerinya, masih tetap menjual kekayaan alamnya terutama tanah, hutan, minyak, gas dan bahan tambang ke perusahaan-perusahaan transnasional asing, serta terus kebanjiran barang impor hasil pertanian, industri dan jasa dari luar negeri.Orientasi politik yang muncul adalah orientasi terhadap kekuasaan, sebaliknya bukan pada orientasi kerakyatan dan kebangsaan.
Prioritas kedaulatan negara (state) di atas kedaulatan rakyat, padahal praktek negara ini tidak mencerminkan kedaulatan rakyat sebagai dasar dari segalanya. Sehingga pada akhirnya, negara menjadi perpanjangan kelompok tertentu: kepentingan penguasa, intervensi penjajah-penjajah baru via intervensi negara pemilik kapital dan lembaga-lembaga internasional dan tak lupa para pemilik modal. Padahal dalam konstitusi kita, pemerintah cq negara mempunyai kewajiban (state obligation) untuk menegakkan kedaulatan rakyat baik dalam kebijakan (UU dan regulasi lainnya) dan praktek dalam kehidupan sehari-hari.
Rakyat tidak akan bisa berdaulat jika sistem ekonomi yang berlaku adalah sistem ekonomi globalisasi-neoliberal. Dalam hal ini mode produksi, dan pasar yang kapitalistik yang dikuasai segelintir pihak yang oligarikis: hanya oleh penguasa dan pemilik modal.
Kehidupan ekonomi yang mandiri, adil dan makmur tersebut hanya dapat dicapai jika terjadi tatanan agraria yang adil dan beradab.
Tatanan agraria yang adil dan beradab tersebut hanya dapat terjadi jika dilaksanakan Pembaruan Agraria Sejati oleh petani, rakyat, bangsa, dan negara. Pelaksanaan Pembaruan Agraria Sejati diejawantahkan dalam UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960. Pembaruan agraria sejati yang dimaksud adalah perombakan dan perubahan struktur sosial masyarakat, khususnya kaum tani yang berhubungan dengan kepemilikan, peruntukan, penggunaan, distribusi dan pengolahan sumber-sumber agraria yang meliputi bumi, air dan ruang angkasa serta segala yang terkandung di dalamnya guna tersedianya sumber daya bagi kaum tani untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial.
Data dan Fakta Yang Terjadi Di Riau
Pemerintah Provinsi Riau Mengalokasikan lahan untuk Rakyat sebesar 13% sedangkan 65 % dikuasai oleh Pihak Kapitalis (Perusahaan) selebihnya dikuasai oleh negara dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Riau 2008-2025. Pembuatan rencana ini dilakukan tanpa konsultasi dengan rakyat sebagai pemilik kedaulatan Wilayah.
Diberikannya hak pengelolaan lahan (HGU) oleh negara terhadap para Pemilik Modal telah banyak menggusur Rakyat di diwilayah kekuasaannya yang seharusnya sebagai Pemilik Kedaulatan.
Seluas lebih kurang satu Juta Ha HGU yang diberikan negara terhadap Pemilik Modal Justru melanggar beberapa aturan konstitusi yang seharusnya menjadi pedoman bagi pemerintah sebagai pemegang mandat untuk menyelenggarakan Negara ini. Ini tertuang jelas dalam PP 47 tahun 1997, Kepres 32 tahun 1990, UU 26 2007 dan PP 26 2008.
Post a Comment