Secara teoritik hujan hanyalah air yang jatuh dari awan, yakni air yang cair, tetesannya mempunyai garis tengah 0,1-5,5 mm dan kecepatan jatuhnya 0,1-8 mm per detik. Selain itu, hujan guruh atau dalam bahasa Ingris disebut sebagai thunder atau thunderstorm adalah perubahan keadaan atau cuaca karena masuknya udara yang sangat dingin dalam kawasan udara yang panas. Karena itu uap udara yang panas tadi berkondensasi yang artinya hujan turun. Karena arus udara yang naik dan yang bertukar-tukar, maka tetesan hujan itu terhembus sehingga pecah berhamburan dan timbullah dua macam tetesan, yang satu berupa tetesan kecil-kecil yang bermuatan negatif dan saudaranya berupa tetesan-tetesan besar yang bermuatan positif. Tetesan yang kecil dengan mudah terbawa udara naik keatas dan semakin menjauhkan jarak antara yang negatif dan positif dan menimbulkan gejala listrik dan melepaskan energi bernama Halilintar. Begitu saja penjelasan tentang hujan, tak lebih tak kurang.
Tetapi segala sesuatu akan kehilangan makna jika segala sesuatu itu tidak dilihat dari kebeningan jiwa. Karena kacamata begitulah, hujan yang hanya berupa tetesan air hanyalah sebuah gejala alam yang tak berarti apa-apa. Semua berlalu secara mekanik, ibarat matahari yang selalu terbit di timur dan berhenti dipeluk malam pada titik barat. Lalu kalau demikian, dimanakah keagungan hidup ?.
Keagungan hidup adalah hasil dari persekutuan kimiawi yang membentuk ketajaman pemikiran yang bercampur baur dengan rasa dan karsa. Percampuran yang dikehendaki ini "bergalintin pintin" memperhalus budi sehingga melihat apa yang tidak diuangkap secara terang benderang, dimana seorang buta akan melihat cahaya terang dikegelapannya. Pada titik itulah hujan kemudian menuai makna.
Pemaknaan hujan sebagai sebuah benda alam yang terkutuk membawa rasa nelangsa atau harapan yang melimpah ruah bukanlah tergantung kepada umur, sebab, meminjam istilah iklan sampoerna, tua itu pasti tapi dewasa adalah pilihan. Kali ini kata bernas yang terjebak pada jargon komersialitas itu saya ubah menjadi, "Tua itu Pasti, Menjadi Arif Itu Pilihan".
Kerapkali hujan menanggung kerinduan seorang pecinta, membelit dan mencekik. Sebab ia memaknai hujan sebagai jembatan rasanya yang rindu berbalut dendam. Menyakitkan sekaligus indah. Apalagi para pungguk yang cintanya tak pernah sampai, tidur bergelung, menghitung kasau, dan ketika mata dipaksa untuk terpejam, dipelupuk menari bayangannya, pada jenjang itulah hujan yang jatuh diatap, ibarat asam cuka yang mengalir dibubungan, kemudian merembes dan jatuh pada pertengahan luka. Itulah luka kerinduan yang diasami rintik hujan. Hingga tak heran, seorang Zalmon, penyayi tua Padang, menyanyi sembari meratap, mendendangkan "Rinai Pembasuh Luka".
Pada petani, hujan adalah salah satu prasyarat penting untuk menyambung kehidupan. Keberadaan hujan kemudian menempati posisi sakral dan memiliki keterikatan mistis dan magis dengan dia yang memiliki segala ada, yang adanya, ada sebelum yang ada itu ada bahkan dalam filsafat minang menyebutkan sebelum apa yang disebut dengan belum (sabalun alun barabalun) ia sudah ada.
Hujan sebagai episentrum kebudayaan pertanian lahan basah telah melahirkan apa yang disebut dengan "Pranoto Wongso" di Jawa, dimana siklus dengan pertanda alam tentang masa turun kesawah dijalankan dengan takzim berabad-abad berintikan putaran sang hujan. Demikian juga ritual-ritual kuno sampai ke agama-agama samawi memiliki doa'a-do'a sakral peminta hujan. Bahkan diberbagai kesempatan petanda linuwihnya para penguasa dan makbulnya para ulama adalah ketika ia dapat meminta hujan saat kemarau mengantarkan paceklik dan kelaparan pada penduduk negeri.
Tetapi telah bertahun kata hujan bersisian erat dengan bencana. Langit telah mengirimkan hujan yang menggelontorkan bukit dan tebing-tebing keperkampungan, bahkan aur dan rumpun-rumpun bambu tak lagi sanggup menjalani takdir sebagai teman sehidup semati tebing. Iapun ikut "rompak" terguling bersama bongkahan tanah menghimpit pondok-pondok petani. Hujan juga mengirim danau ke kota-kota, ketika kayu-kayuan telah berubah menjadi pancang-pancang beton dan diatasnya mesin-mesin berlarian, mengirimkan kepulan asap hitam dan seketika mengurung angkasa.
Murkakah sang langit ketika hujan tak membawa berkah dan itupun makin lama datang tak terduga. Pranoto Wongso atau apapun pola adaptif terhadap kearifan sang hujan telah kacau balau. Harapan yang biasanya tersimpan pada kantung-kantung hitam awan yang bergayut diangkasa, kini menghampa. Pengerukan tak henti segala benda dan unsur bumi sampai keintinya telah memutus banyak rantai-rantai kehidupan. Ya inilah dekade keserakahan seperti yang dikatakan oleh Josep E. Stiglitz.
Kalau kita kembali kepada cerita-cerita kuno dan cerita-cerita alkitab, bukankah hampir semua peradaban dihancurkan ketika keserakahan telah sampai pada titik paripurna. Seperti cerita Fir'aun yang mengaku tuhan, hari ini belalang datang bergelombang-
Hujan selain padanya disandangkan makna melankolik, romanitisisme cinta, padanya juga tak jarang ditumpahkan segala sumpah serapah. Ya sumpah serapah para pedagang kaki lima yang tidak mendapatkan apa-apa pada malam bazar kampung, karena para pengunjung lebih memilih tidur atau bersiap menanti banjir akan datang. Pilihan model ekonomi yang mengakumulasi pertumbuhan pada segelintir tangan-tangan gurita raksasa telah mengusir mereka dari pusat-pusat perdagangan seperti Blok M dan Tanah Abang. Hingga mereka hanya memiliki dua pilihan, disapih kebijakan anti kemiskinan yang berbunga-bunga dimedia atau diburu, hingga lenyap dari depan mata. Pada akhirnya para pedagang ini mesti berkesumat dengan hujan.
Kelihatannya kata hujan juga memiliki makna berbeda kali ini di Amerika. Keruntuhan perusahaan-perusaha
Serapuh itukah segala kemudahan dan kemewahan sebuah sistem yang dirindu dan dicerca. Padahal pada saat itu, banyak pihak menyangka dengan berakhirnya perang dingin, maka berakhir pula idiologi. Sistem perusahaan bebas telah berjaya dan kita semua bertugas menyempurnakan sistem itu. Kalahnya komunisme adalah kalahnya patologi, kalahnya sebuah penyimpangan, kalahnya rezim otoriter. Perlawanan terhadap penyimpangan itu mengalihkan perhatian pada masalah besar yakni masyarakat seperti apa yang ingin dibentuk dibumi. Pada akhirnya dalam dunia global ini, apakah kita harus berjalan pada nada genderang yang sama, lalu dimana ruang bagi keberagaman. Pernyataan dan pertanyaan Stiglitz seperti hujan menghantam kebutaan penghambaan kita pada sisitem ekonomi itu.
Pada akhirnya kembalikanlah hujan pada qittahnya, pembawa rahmad dan pertanda kasih sayang yang esa bagi orang-orang yang mau melihat ini sebagai pertanda. Tidak melankolik, menyimpan amarah, gemuruh duka atau menjauh tak berharap, tetapi ia dingin dan mendinginkan tempat kehidupan tumbuh menyambung peradaban.
Pondok Labu, 2 November 2008__,_._,___
Post a Comment