Mungkin kita terlalu lama dijajah Belanda yang konon ada dua periode, periode pertama adalah diduduki oleh VOC yang notabene adalah perusahaan swasta dan ketika VOC bangkrut karena dikelola dengan sangat korup, kemudian kita diduduki oleh pemerintah kerajaan Belanda. Kondisi mungkin menjadi lebih baik pada periode kedua ini, namun hingga saat ini banyak sekali aturan dan peraturan yang masih memperlihatkan suatu sikap yang memandang rakyat sebagai rakyat yang terpisah dari Pemerintah sebagai sebuah kekuasaan mutlak yang mengatur seluruh kekayaan negara untuk kepentingannya dan bukan untuk kepentingan rakyat.
Padahal orang-orang pemerintahan itu hakekatnya ya rakyat juga. Mereka hanyalah mengelola kebutuhan-kebutuhan sosial masyarakat negeri ini, sementara kebutuhan-kebutuhan yang bersifat komersial bisa diadakan sendiri oleh masyarakat untuk saling mengisi. Dari kegiatan komersial inilah sebagian disisihkan untuk pemenuhan kebutuhan sosial yang dikelola melalui mekanisme pajak.
Ketika pemahaman dasar hidup bernegara ini bias, maka konsekwensinya rakyat seperti berhadapan dengan negara. Rakyat akan selalu berupaya merebut yang bukan haknya untuk sekedar makan, berteduh bahkan untuk memperkaya diri. Pertempuran antara rakyat dan pemerintah terjadi hampir disemua lini. Mulai dari hutan-hutan hingga ditengah kota-kota besar. Menjadi lebih parah lagi ketika Pemerintah memberikan hak-hak pengelolaan kekayaan negara yang seharusnya menjadi milik rakyat pada pengusaha-pengusaha multinasional. Rakyat benar-benar dipandang sebelah mata sebagai suatu potensi yang sebenarnya merupakan kekayaan negeri ini.
Dalam pandangan yang lebih ekstrim lagi Pemerintah mendudukkan dirinya sebagai ningrat yang selalu haus untuk dilayani oleh para jongos yang harus diberi upah rendah agar para ningrat tersebut dapat selalu terlayani. Jangan sampai para jongos tersebut menjadi sejahtera karena akan meninggalkan posisinya sebagai 'jongos'. Pandangan ini saya peroleh dari tanggapan terhadap sepenggal pandangan saya di sebuah milis.
Rasanya memang seperti itu, sehingga posisi pemerintah yang seharusnya memenuhi layanan publik yang bersifat sosial malah terabaikan. Aparat-aparat pemerintah malah minta dilayani hampir disetiap jenjang dan lebih celaka lagi mereka mengutipi pungli hampir disemua lini dan sektor. Hal ini mencerminkan jauhnya fungsi pemerintah yang 'ideal'.
Mereka tidak lagi berpikir perlunya mendapatkan devisa dengan berbagai upaya yang positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakatnya, namun justru berpikir bagaimana bisa hutang untuk memudahkan merealisasikan apa yang ada didalam benak si 'ningrat'.
Bahwa ini memiliki konsekwensi biaya uang yang sangat besar sehingga mengakibatkan terdevaluasinya rupiah terus menerus tidak lagi jadi masalahnya. Mereka hanya memandang bahwa pelemahan rupiah adalah peningkatan daya saing di pasar global… padahal ini jelas pemutar balikkan fakta, bahwa pelemahan nilai rupiah adalah pemiskinan terhadap anak bangsa sehingga dari hari ke hari rakyat semakin menghalalkan segala cara untuk menyambung hidupnya.
Bahwa pelemahan rupiah mengakibatkan anak bangsa rela menjadi 'jongos' di negeri orang dan karena pemerintah yang memiliki jiwa 'ningrat' yang haus untuk dilayani maka hal ini dianggap saja sebagai hal yang positif.
Dan para 'jongos' siap mencuri barang milik negara jika sang majikan sedikit lengah Ditepian jalan kereta api, dikolong-kolong jembatan dan jalan tol, dibantaran sungai, diatas trotoar, di terminal bayangan hampir disetiap fasilitas publik yang yang bisa mereka duduki akan di jadikan tempat usaha dan berteduh
Post a Comment